Rabu, 01 Mei 2024

SENJA TAK BOLEH MUNCUL SEHARIAN 


Aku terbangun dari lelap tidur. Tak seperti biasanya. Aku sudah duduk bersandar di tembok. Melihat jam di dinding kamar dengan gambar seorang polisi dan istrinya, lengkap berlatar kantor polisi. Senyum ibu Bhayangkari itu manis, lebih-lebih seragam merah mudanya yang menambah kesan anggun. 

Iya, jam dinding di kamarku adalah buah tangan dari pisah sambut Kapolres di wilayah tempat ku tinggal. Di jam itu aku melihat jarum panjang berada di angka enam, dan jarum yang lebih pendek berada di angka satu. Sementara, jarum yang paling pendek terus bergerak melewati angka demi angka.

 Aku menengok sekeliling. Tak ada siapa pun. Kecuali, guling, dan selimut tebal yang berada di sebelah kanan ku bersandar. Mungkin aku terlelap hingga lupa tak ku kenakan selimut. Ku tundukkan kepala. Sunyi. Tak terdengar suara ibu, atau pun bapakku melantunkan kata "Bangun, bangun, mau sholat subuh,". 

Hanya sesekali terdengar suara tikus yang tengah bermain kegirangan. Mungkin, karena tuan rumahnya sedang belajar mati. Jadinya, mungkin juga mereka berpikir, tuan rumah tak akan dengar meski tikus-tikus menari atau pun terjun bebas dari satu wajan ke panci yang lain. Dari satu piring ke gelas yang lain. Dari beberapa tempe ke tahu dan sayur yang lain. Baiklah, itu sisa makanan. 

Aku yang menundukkan kepala. Sesegara itu bangun, menuju kamar mandi. "Aku mau kencing," kataku. Tapi ulu hatiku luar biasa nyeri. Baru beranjak dari tempat tidur. Kemudian aku duduk jongkok dengan memegang ulu hatiku. Duh, tikus-tikus lagi bermain. Bisa jadi mereka sedang bermain polisi dan maling. Sedang bekejar-kejaran. Atau mereka tengah menari lagu Joko Tingkir, wes, wes, ojo dipikir. 

Aku tertelungkup di lantai. Sepertinya jongkok sudah bukan jawabannya. Menghilangkan nyeri ini haruslah tertelungkup, tersungkur sembari menekan ulu hati. Tak sampai aku bangunkan keluarga ku. Seharian mereka sudah lelah. Mengejar matahari, menabur benih harapan, bahkan berkeliling melakukan pemujaan. 

"100, 99, 98, 97, 96, 95, 94, 93, 92, ...." aku hitung mundur dari angka seratus. Mulutku komat-kamit menghitung angka. Tapi kepalaku sedang bermain-main dengan kata-kata. "Gimana sih kau ini, baru saja memejamkan mata, tak sampai satu jam lalu. Sekarang sudah bangun," kata otakku pada diriku sendiri. 

Seringkali hitunganku berhenti pada angka 60.Tapi, sudah berulang lima hingga enam kali. Baiklah, jika dikonversikan dengan menit maka, (100x5) - 60 = 440 hitungan. Kemudian 440 ; 60 detik = 7 menit 20 detik. Begitu ya. 

Sepekan sudah berlalu. Sesekali kondisi ini terjadi ketika ada orang. Aku yang tak bisa menyembunyikan itu hanya bisa tertelungkup. Membuat orang di sekitar khawatir. Atau malah, mendatangiku.

 "Tolong ambilkan obat lambungku, Mylanta cair di jok sepeda," kataku minta tolong. Baiklah, sepekan ini minum Mylanta sudah seperti minum jus nangka. Diseruput saja.

 --------------------------------------------------------------------------------------------------

Wanita dewasa berbadan langsing. Kulit kuning langsat. Rambut lurus, tapi tak tebal. Alis tebal, jadi tak perlu membeli pensil alis Viva, yang kalau kata Bunda Corla, sangat berharga untuk menyempurnakan alis yang tipis. 

Tak suka makan pedas. Tak suka makan manis. Tapi, suka sekali makan buah yang kecut. Selera makannya aneh. Minum es campur, hanya gula satu sendok masih terasa manis sekali katanya. Jadi masih dicampur air satu gelas. 

"Baiklah, lampu di depan gang rumah sudah mati. Dan sudah diganti. Senja yang jingga pun berubah menjadi gelap. Semuanya akan berubah pada waktunya. Dan waktu tak akan berhenti walau sedetik meski pun semua berubah," kataku pada diri sendiri.

Datang seorang lelaki menghampiriku. Rambutnya keriting, kulitnya putih, badannya tak terlalu tegap. Lelaki mager, yang tiap kali ku ajak olahraga selalu beralasan "Aku adalah pengagum ketenangan,". Ingin kutampar rasanya. Karena, lelaki yang kalau boleh memilih kemana-mana dia pakai boxer bergambar SpongeBob itu, sangat malas bergerak.

Dia perdengarkan sebuah lagu. Datang membawa headset nirkabel. Dia pasangkan ke telingaku. Terdengar lirik lagu yang membuatku tak kuasa. Dan hanya memegang kursi kayu tempat kami berdua duduk.

Some people want it all 
But I don't want nothing at all 
If it ain't you, baby 
If I ain't got you, baby S
ome people want diamond rings 
Some just want everything 
But everything means nothing 
If I ain't got you, yeah 

Kami berdua pun mengikuti lirik demi lirik lagu itu. Bedanya, suaranya merdu. Suaraku parau bercampur air asin yang ke luar dari mataku. 

"Ini lagu kita. Tapi, saat ini mungkin lebih tepat lagu ini untukmu," katanya padaku. Aku hanya menundukkan kepala. Sesekali ku garuk ibu jariku. 

"Brengsek," kataku dalam hati. "Dasar kau si boxer SpongeBob yang suka benar. Aku tak suka. Diam," kataku padanya. 

Dia menyeringai, sembari mengeklik tombol player musiknya. Agar If Ain't Got You by Alicia Keys ini terus terdengar di telingaku dengan bantuan headset nirkabel miliknya. 

"Sudah waktunya pulang. Senja tak boleh muncul sehari penuh," begitu katanya. 

"Tunggu, sebelum pulang Aku ingin mendengarkan lagu Billie Eilish, No Time To Die," kataku padanya. 

Ia pun putarkan lagu itu hingga tuntas. Sekali lagi kami bernyanyi bersama. 

Was I stupid to love you? 
Was I reckless to help? 
Was it obvious to everybody else That I'd fallen for a lie? 
You were never on my side
 Fool me once, fool me twice
 Are you death or paradise? 
Now you'll never see me cry 
There's just no time to die

SENJA TAK BOLEH MUNCUL SEHARIAN  Aku terbangun dari lelap tidur. Tak seperti biasanya. Aku sudah duduk bersandar di tembok. Melihat jam ...