SENJA TAK BOLEH MUNCUL SEHARIAN
Iya, jam dinding
di kamarku adalah buah tangan dari pisah sambut Kapolres di wilayah tempat ku
tinggal. Di jam itu aku melihat jarum panjang berada di angka enam, dan jarum
yang lebih pendek berada di angka satu. Sementara, jarum yang paling pendek
terus bergerak melewati angka demi angka.
Aku menengok sekeliling. Tak ada siapa
pun. Kecuali, guling, dan selimut tebal yang berada di sebelah kanan ku
bersandar. Mungkin aku terlelap hingga lupa tak ku kenakan selimut. Ku tundukkan
kepala. Sunyi. Tak terdengar suara ibu, atau pun bapakku melantunkan kata
"Bangun, bangun, mau sholat subuh,".
Hanya sesekali terdengar suara tikus yang
tengah bermain kegirangan. Mungkin, karena tuan rumahnya sedang belajar mati.
Jadinya, mungkin juga mereka berpikir, tuan rumah tak akan dengar meski
tikus-tikus menari atau pun terjun bebas dari satu wajan ke panci yang lain.
Dari satu piring ke gelas yang lain. Dari beberapa tempe ke tahu dan sayur yang
lain. Baiklah, itu sisa makanan.
Aku yang menundukkan kepala. Sesegara itu
bangun, menuju kamar mandi. "Aku mau kencing," kataku. Tapi ulu hatiku luar
biasa nyeri. Baru beranjak dari tempat tidur. Kemudian aku duduk jongkok dengan
memegang ulu hatiku. Duh, tikus-tikus lagi bermain. Bisa jadi mereka sedang
bermain polisi dan maling. Sedang bekejar-kejaran. Atau mereka tengah menari
lagu Joko Tingkir, wes, wes, ojo dipikir.
Aku tertelungkup di lantai. Sepertinya
jongkok sudah bukan jawabannya. Menghilangkan nyeri ini haruslah tertelungkup,
tersungkur sembari menekan ulu hati. Tak sampai aku bangunkan keluarga ku.
Seharian mereka sudah lelah. Mengejar matahari, menabur benih harapan, bahkan
berkeliling melakukan pemujaan.
"100, 99, 98, 97, 96, 95, 94, 93, 92, ...." aku
hitung mundur dari angka seratus. Mulutku komat-kamit menghitung angka. Tapi
kepalaku sedang bermain-main dengan kata-kata. "Gimana sih kau ini, baru saja
memejamkan mata, tak sampai satu jam lalu. Sekarang sudah bangun," kata otakku
pada diriku sendiri.
Seringkali hitunganku berhenti pada angka 60.Tapi, sudah
berulang lima hingga enam kali. Baiklah, jika dikonversikan dengan menit maka,
(100x5) - 60 = 440 hitungan. Kemudian 440 ; 60 detik = 7 menit 20 detik. Begitu
ya.
Sepekan sudah berlalu. Sesekali kondisi ini terjadi ketika ada orang. Aku
yang tak bisa menyembunyikan itu hanya bisa tertelungkup. Membuat orang di
sekitar khawatir. Atau malah, mendatangiku.
"Tolong ambilkan obat lambungku,
Mylanta cair di jok sepeda," kataku minta tolong. Baiklah, sepekan ini minum
Mylanta sudah seperti minum jus nangka. Diseruput saja.
--------------------------------------------------------------------------------------------------
Wanita dewasa berbadan langsing. Kulit kuning langsat. Rambut lurus, tapi tak
tebal. Alis tebal, jadi tak perlu membeli pensil alis Viva, yang kalau kata
Bunda Corla, sangat berharga untuk menyempurnakan alis yang tipis.
Tak suka
makan pedas. Tak suka makan manis. Tapi, suka sekali makan buah yang kecut.
Selera makannya aneh. Minum es campur, hanya gula satu sendok masih terasa manis
sekali katanya. Jadi masih dicampur air satu gelas.
"Baiklah, lampu di depan
gang rumah sudah mati. Dan sudah diganti. Senja yang jingga pun berubah menjadi
gelap. Semuanya akan berubah pada waktunya. Dan waktu tak akan berhenti walau
sedetik meski pun semua berubah," kataku pada diri sendiri.
Datang seorang
lelaki menghampiriku. Rambutnya keriting, kulitnya putih, badannya tak terlalu
tegap. Lelaki mager, yang tiap kali ku ajak olahraga selalu beralasan "Aku
adalah pengagum ketenangan,". Ingin kutampar rasanya. Karena, lelaki yang kalau
boleh memilih kemana-mana dia pakai boxer bergambar SpongeBob itu, sangat malas
bergerak.
Dia perdengarkan sebuah lagu. Datang membawa headset nirkabel. Dia
pasangkan ke telingaku. Terdengar lirik lagu yang membuatku tak kuasa. Dan hanya
memegang kursi kayu tempat kami berdua duduk.
Some people want it all
But I
don't want nothing at all
If it ain't you, baby
If I ain't got you, baby S
ome
people want diamond rings
Some just want everything
But everything means nothing
If I ain't got you, yeah
Kami berdua pun mengikuti lirik demi lirik lagu itu.
Bedanya, suaranya merdu. Suaraku parau bercampur air asin yang ke luar dari
mataku.
"Ini lagu kita. Tapi, saat ini mungkin lebih tepat lagu ini untukmu,"
katanya padaku. Aku hanya menundukkan kepala. Sesekali ku garuk ibu jariku.
"Brengsek," kataku dalam hati. "Dasar kau si boxer SpongeBob yang suka benar.
Aku tak suka. Diam," kataku padanya.
Dia menyeringai, sembari mengeklik tombol
player musiknya. Agar If Ain't Got You by Alicia Keys ini terus terdengar di
telingaku dengan bantuan headset nirkabel miliknya.
"Sudah waktunya pulang.
Senja tak boleh muncul sehari penuh," begitu katanya.
"Tunggu, sebelum pulang
Aku ingin mendengarkan lagu Billie Eilish, No Time To Die," kataku padanya.
Ia
pun putarkan lagu itu hingga tuntas. Sekali lagi kami bernyanyi bersama.
Was I
stupid to love you?
Was I reckless to help?
Was it obvious to everybody else
That I'd fallen for a lie?
You were never on my side
Fool me once, fool me twice
Are you death or paradise?
Now you'll never see me cry
There's just no time to
die