SENJA TAK BOLEH MUNCUL SEHARIAN
Rumpun Jiwa
Rabu, 01 Mei 2024
Jumat, 01 Oktober 2021
SUPARMAN LUPA
Lelaki paruh baya yang suka merokok itu namanya Suparman.
Ia selalu mengenakan sarung berwarna coklat kotak-kotak dengan atasan singlet putih.
Suparman hanya akan mengenakan setelan lain manakala akan pergi menuju Bank untuk mengambil gaji pensiunan gurunya. Atau, jika hendak beribadah.
Pernah ditanya oleh masyarakat, kenapa hanya mengenakan pakaian-pakaian itu saja. Dan Suparman hanya selalu membalas dengan sederhana.
"Singletku ini ada dua. Sarungku juga ada dua. Masih layak dipakai. Aku jamin tak bau, karena aku berselang seling pakainya. Paling penting itu kenyamanan," katanya.
Semua warga hafal sekali dengan jawaban ini. Dan berapa kalipun kami memberi baju kepadanya, selalu saja dia tetap hanya mengenakan pakaian kebangsaannya.
Suatu pagi, ia duduk di atas kursi merah plastik di depan rumahnya. Sembari menghisap sebatang rokok linting.
Tepat di sebelah kirinya ada meja kayu kecil berukuran 0,5x0,5 meter. Di atasnya berserakan perlengkapan merokoknya. Ada korek, kertas rokok, tembakau kering, asbak, dan segelas kopi.
Rumahnya yang sederhana selalu terlihat bersih. Tak pernah tetangga melihat ada plastik berceceran di depan rumahnya.
Tak kecuali ruang tamu, dua kamar tidur, dapur, tempat makan, dan seluruh isi rumahnya. Bersih. Sudah seperti rumah yang selalu digunakan untuk iklan Superpel. Kinclong.
Halaman depan rumahnya tak begitu luas. Karena memang sebagiannya ia buatkan teras. Tempat, ia duduk santai menikmati lintingan rokoknya.
Sederet bunga pedang-pedangan berjejer rapi di depan rumahnya. Bunga itu ditatanya memanjang, dikelilingi oleh genteng yang dipendam ke tanah.
Kemudian di sebelah kanan, ada beberapa pot yang ditanami bunga mawar, bunga seruni.
Di atasnya, telah ia buatkan gantungan untuk bunga-bunga yang mbak seperti air terjun. Seperti, bunga air mata ibu, bunga
Di dekat pintu masuk menuju halaman rumahnya, ia tanami pohon jambu dan pohon pepaya.
Seringkali, anak-anak yang ingin rujak jambu pun meminta pada Suparman.
Semua bunga itu peliharaan istrinya. Namun, sejak meninggal dua tahun lalu, karena sakit jantung. Suparman lah yang melanjutkan merawat semua itu.
Ia hidup seorang diri. Sementara anak semata wayangnya yang sudah menjadi Polisi, kini tinggal di kota bersama istri dan dua anaknya.
Anaknya selalu memaksa agar Suparman mau ikut ke kota tinggal bersama. Tapi, ia tak mau.
Setiap hari anaknya, menantunya, bahkan ke dua cucunya menelpon Suparman.
Selain itu, putranya itu selalu datang setiap akhir pekan di minggu pertama. Bahkan, menginap hingga dua - tiga hari. Bukan hanya menengok ayahnya, tapi ia juga memastikan semua kebutuhan ayahnya selama sebulan.
Beras, gula, kopi, mie instan, token listrik. Termasuk, meminta penjual sayur menghantarkan lauk tiap hari ke rumah ayahnya.
Suparman meminta agar tak perlu melakukan itu. Karena, ia bisa memasak sendiri. Namun, menantunya tak mau. Menantunya yang berkelahiran tanah Madura itu, khawatir.
Tak mau berdebat panjang, Suparman mengikuti semua keinginan menantu dan anaknya. Ia tahu mereka khawatir padanya.
Sebenarnya, Anaknya yang Polisi itu pernah mendorong ayahnya menikah lagi. Agar tak kesepian. Namun, Suparman marah besar ketika anaknya meminta itu.
"Ibumu memang tak ada di dunia. Tapi, ia selalu di hati ayah," katanya.
Anak dan menantunya mengakhiri perbincangan itu dengan diam. Dan tak pernah sekalipun melontarkan dorongan serupa pada ayahnya.
Pagi itu, matahari bersinar terang. Suparman seperti biasa duduk santai, setelah menyiram tanaman. Menikmati rokok lintingnya.
Selamet, sepupunya datang membawakan secangkir kopi. Lengkap pula pisang goreng hangat.
"Pak Lek selalu saja duduk sendiri begini. Tak kesepian? Tak mau ikut abang saja ke kota?," katanya.
" Pak Lek tak pernah kesepian. Ada kamu, dan ibumu, anak, serta istrimu yang selalu di samping Pak Lek," jawab Suparman dengan senyuman.
"Pak Lek, kenapa selama ini tak pernah mau tinggal dengan Abang di Kota sudah sukses. Sudah jadi Kapolsek. Kakak Ipar juga sangat hormat pada Pak Lek," tanya Selamet.
Tetiba Suparman melempar punyung rokoknya, dan beranjak dari kursi. Selamet yang melihat itu pun merasa tak enak.
Ia bergegas pamit, tapi tiba-tiba Suparman mengatakan.
"Tunggu, kau mau kemana? Aku masih ingin mengobrol," ucapnya.
Selamet merasa aneh. Karena tak biasa Suparman begitu saat ditanya pertanyaan seperti tadi. Merasa tak enak, ia pun mengurungkan niat untuk pergi, dan duduk dengan seksama di atas kursi sembari menunggu Kakak dari ibunya itu keluar dari rumah.
Suparman dari dalam rumah membawa lepek berisi minyak, dan di atasnya tampak sebuah logam kecil bertuliskan BANK INDONESIA 500 RUPIAH 2016. Iya, logam yang tampak dipinggirannya telah pekat berwarna hitam. Mungkin bekas daki saat mengerok.
Ia yakin Suparman pasti ingin dikerok.
"Pak Lek minta tolong ya met, kerokin. Ini kemarin selesai mengajar ngaji malam di Langgar, tak lihat jam. Hingga pulang malam," jelasnya.
Selamet tak pernah menolak apapun yang diminta Suparman. Karena bagi Selamet, pamannya itu seperti ayah kandungnya.
"Selamet kamu selama ini selalu saja bertanya pertanyaan sama seperti tadi. Apakah kau tahu nak, kami orang tua ini kadang lupa," jelas Suparman.
Ia berhenti sejenak, menyeruput kopi hangat. Selamet terus mengerok punggung pamannya.
"Lupa kalau kami sudah tua. Lupa kalau kini kami hanya bisa mengangkut satu karung saja. Lupa kalau mata kami sudah tak bisa melihat jelas saat berkendara malam hari," katanya.
Selamet tak menjawab sepatah kata pun. Ia terus mengerok pamannya itu.
BONDOWOSO, 1 Oktober 2021
Ocha Ari Pangistu
MASAKAN MAMA
Suara kokok ayam mulai terdengar. Bersamaan dengan sayup-sayup suara perpaduan wajan dan sutil bertalu-talu. Seperti bersaut-sautan, memekak gendang telinga di pagi hari.
Belum lagi, suara letupan ikan lele yang tengah digoreng pun terdengar, seperti suara mercon kecil.
Semuanya seolah menjadi musik sumbang di pagi hari. Bercampur, tak peduli bagaimana pendapat pendengarnya.
Iya. Berbeda. Ini bukan konser musik Yanni, seorang komponis yang sekaligus pemusik berkebangsaan Yunani.
Ini suara orang memasak. Semuanya nyaring sekali. Karena alat-alat dapur yang digunakan beradu, berpekuk, dan tak berirama padu.
Sepertinya dua wajan, dan dua kompor hidup semua. Makanan yang tengah dimasak, sedang mengejar terbitnya matahari.
Suasana pagi memang selalu seperti itu. Ramai, layaknya ribuan benda mati yang dikenal dengan sebutan peralatan masak, tengah berbincang.
Aroma yang tercium juga tak mau kalah. Bawang putih, bawang merah, cabe merah kecil, terasi, ranti, gula, garam, bumbu penyedap. Masakan paling favorit, pedas manis. Sambal bajak.
Memang selalu dipilih dimasak di bagian akhir. Aku pernah bertanya serius tentang ini pada mama, nenek, dan mbah buyutku. Semuanya memberikan jawaban yang sama. Memang sengaja memasak sambal di bagian akhir, karena ada bahan yang masuk dalam komposisi dan memiliki aroma yang kuat.
Jadinya, untuk menggoreng bahan tersebut haruslah menggunakan minyak terakhir. Agar kemudian aromanya tak melekat pada masakan lain yang akan digoreng. Iya, terasi.
Alasan lain, karena cabe yang digunakan untuk sambal ini mempunyai rasa pedas. Sementara, tak semua orang suka pedas. Agar tak memudarkan rasa-rasa lainnya, maka pedas yang selalu mendominasi rasa, dipilih dimasak di bagian akhir.
Tak kusangka, urusan memasak saja sedemikian peliknya.
Aroma sambal bajak memang menyengat saat dimasak. Membuat mereka yang mencium aromanya turut bersin berkali-kali.
Seperti yang terjadi tiap kali Mama saya memasak sambal bajak. Antara kesal dan senang beradu nikmat.
Saking nikmatnya, jadwal memasak sambal bajak yang dulunya teratur. Sekarang tak beraturan, bergantung jumlah anggota keluarga yang makan. Jika bapak makan di tempat kerja. Bisa jadi, jumlah sambal bajaknya bisa cukup untuk tiga hari.
Berbeda lagi jika itu hari Minggu. Sambal bajak satu baskom pun bisa habis hanya dalam hitungan setengah hari.
Suasana ini tak ditemui jika berkaitan dengan lauk pauk yang dimasak. Setiap hari, ada saja aduan-aduan dari anggota keluarga di rumah. Jika memasak makanan manis, sudah pasti anak pertama akan merangrang. Ia tak suka manis.
Berbeda lagi, dengan anak ke dua. Jika, tak ada sayur mayur di tengah-tengah 1001 lauk. Jangan pernah berharap, di meja makan akan damai. Justru akan terisi, teriakan, makian kesal, hingga paling parah umpatan kasar.
Si bungsu, akan diam seribu bahasa, bahkan tak akan menyentuh nasi. Jika tak ada mie goreng, telur goreng. Atau jika keluarga memasak hati ayam atau hati sapi.
"Najis, makan makanan pahit ini," kalimat hafalan yang selalu kita dengar.
Tak kubayangkan, jika makanan untuk orang satu RT saja, mamaku yang memasak. Bagaimana, suara-suara pro dan kontra itu beradu setiap kali mau makan. Mungkin, bisa menyaingi polusi suara orang yang sedang menggergaji pohon.
Kemarin pagi, aku bangun sekitar pukul 11 siang. Sinar matahari, menyelinap di lubang-lubang kecil anyaman bambu rumahku.
Aku tak bangun pagi lagi, karena tak ada suara alat memasak yang lagi beradu. Tak ada aroma sambal bajak lagi yang dimasak atau sekedar dihangatkan yang membuat bersin-bersin.
Mama sedang menemani saudara kami di rumah sakit. Korban tabrak lari.
Meja makan yang biasanya ketika bangun sudah berisi beragam lauk. Kini kosong, hanya terlihat semut-semut merah lima ekor. Sedang kesana kemarin mencari sisa-sisa lauk. Padahal, tak ada sebutir nasi pun di meja.
Botol-botol kosong yang tersibak angin, menggelinding. Mengenai semut. Ntah, jika bisa berbicara mungkin semut itu akan menjerit kesakitan.
Botol-botol air berjejer rapi. Tak ada air, kosong. Semalam sudah habis diteguk. Sebagian lagi dibawa ke rumah sakit.
Di dekat timpukan piring, biasanya ada sebutir telur dan mie goreng. Tapi, yang terlihat hanya piring dengan butiran-butiran debu halus. Sepertinya debu itu masuk dari pintu sampung rumah kami, yang dekat sekali dengan tanah pekarangan milik tetangga.
"Aku barusan sudah beli nasi di warung depan. Kakak, kalau mau makan nanti kupesankan," kata si Bungsu.
"Tak usah. Biar nanti aku beli sendiri," kataku sembari berlalu menuju kamar mandi untuk cuci muka.
"Kalau tak ada mama, aku bingung. Walaupun kadang suka kesal karena masakan mama yang kadang tak sesuai selera. Tapi lebih baik ada, dari pada tak ada sama sekali," katanya dengan raut wajah kesal.
Aku baru saja keluar dari kamar mandi, sembari mengelap wajah yang basah karena cuci muka.
"Halah, biasanya juga kau ngomel. Kalau mama hanya memasak hati ayam atau hati sapi kesukaan keluarga," kataku.
"Sudahlah, aku tak mau berdebat. Coba itu kakak lihat handphone-nya. Sejak tadi berbunyi terus," ujar adikku kesal.
Aku kemudian buru-buru melihat handphone. Dan kubuka, tertulir di layar tiga kali panggilan tak terjawab "Mamaku".
Kucoba telpon balik, ternyata tak diangkat. Namun, ada pesan yang sudah masuk sejak satu jam lalu.
" Kakakmu sudah boleh pulang. Jam 15.00 nanti," teks pesan dari kontak yang keberi tulisan "Mamaku".
Bondowoso, 16 September 2021
Ocha Ari Pangistu
Kamis, 19 Agustus 2021
Rumah Mata Hati
Anak laki-laki sekira umur 10 tahun tengah mengayunkan kakinya yang melayang di atas lantai. Sementara tangannya sedang sibuk memencet tombol-tombol kecil yang ada di layar gawainya.
Sesekali anak itu menyeringai pelan, kemudian bersandar pada kursi kayu bercat putih dengan panjang sekitar 1x0,5 meter.
Ia berkaos putih bertuliskan 'Anak Mama', celana pendek coklat, sandal swallow putih berliris hijau. Sementara ibunya, berkaos lengan panjang dengan warna hijau muda senada, tengah mondar-mandir. Dia berkata pada anaknya.
"Leh, Mama masih mau lihat papa. Tunggu ya, itu berkasnya jangan sampai hilang," katanya sembari berlalu hilang melewati pintu putih.
Selang beberapa menit kemudian, ibu itu keluar sembari membopong lelaki tua dengan celana pendek. Tangannya gemetar, dan jalannya pincang. Wanita itu tak sendiri, dia bersama seorang perawat membopong lelaki tua itu.
"Leh, kursi rodanya disiapkan," pintanya.
Pemuda tadi pun bergegas mematikan gawai, dan mendorong kursi roda untuk papanya.
Di sebelah anak itu berjarak sekitar dua ubin, ada seorang lelaki tua, bermata sipit, perut buncit, rambutnya tipis sekali hingga kulit kepalanya pun bersinar saat terkena sinar lampu, wajahnya pucat.
Ia duduk pasrah, dan tubuhnya lunglai. Menunggu laki-laki yang wajahnya mirip dengannya namun lebih muda, untuk mendorongnya di kursi roda berwarna hitam itu.
Mungkin mereka anak dan ayah, karena ku dengar lelaki yang berdiri tegak di samping kursi roda itu memanggilnya dengan sebutan papa.
Di arah jam sembilan, seorang lelaki paruh baya sedang berjalan sembari memegang tongkat tiga kaki dengan mengenakan jaket jins berwarna abu-abu.
Mungkin dia ingin tetap terlihat seperti Koes Plus yang sedang bernyanyi lagu andalannya berjudul 'Kolam Susu'. Sayang, ia tak mengenakan celana jins, agar benar-benar mirip.
Terbata-bata ia berjalan dengan memegang tongkat. Padahal antara dia berdiri dengan tempat duduk hanya perlu sekitar delapan langkah kecil. Namun, lamban sekali.
Telponnya berbunyi dengan nada dering Coconut. Sangat keras sekali, hingga semua orang di ruangan pun menoleh padanya. Ia pun berusaha memencet tombol berwarna hijau.
"Iya Dek, saya sudah daftar, sedang antri ini," katanya sembari menutup telpon.
Suaranya parau sekali, apakah karena tangannya gemetar jadi suaranya yang parau pun ikut bergetar. Ntahlah.
Aku hampiri kakek itu. Aku bantu dia berjalan, hingga bisa duduk di kursi. Kami pun duduk berdampingan tapi tidak dekat. Kami dipisahkan oleh lembaran bertuliskan 'Jaga jarak. Jangan Duduk Disini', lengkap ada tanda silang.
Ia pun menyampaikan terima kasihnya kepadaku dengan nafas tersengal-sengal. Ku perhatikan dia, seperti orang lari cepat 50 meter, nafasnya cepat.
"Sudah tua ini nak, jalan segitu saja sudah ngos-ngosan nafasnya," katanya.
"Tapi kakek hebat," jawabku sembari kuselipkan senyuman manis. Walaupun tak tampak, karena kami mengenakan masker.
Tepat di belakang kami, seorang kakek tua dengan kemeja kaos berwarna merah bata duduk memegang map kuning. Ia pun memegang tongkat berkaki. Badannya gumpal, tegap, kulitnya gelap.
Ia tampak sangat sibuk memasukkan lembaran-lembaran foto kopi. Sekilas ku lihat tampak foto kopi KTP, KK, dan Kartu Indonesia Sehat (KIS).
Beberapa lembar KK tampak berceceran. Aku bantu memungutnya. Kakek itu mengucapkan terima kasih sembari sibuk memasukkan kertas itu, dan kembali merogoh-rogoh map kuning.
"Kakek cari apa?," kataku iba.
"Kakek cari kertas kecil pendaftaran warna kuning, terus juga sama resep obat," katanya sembari sibuk mencari di map kuning.
"Sini kakek, saya bantu cari," dia pasrah, memberikan map kuningnya padaku.
Aku coba melihat dan membaca setiap lembaran kertas yang ada di map kuning yang tertulis bagian depannya ' Berkas Kesehatan Sutarjo'.
Suara apoteker terus terdengar sayup-sayup memanggil nama pasien. Sementara keluarga pasien, perlahan memenuhi panggilan dan berlalu membawa obat. Ada yang masih harus kembali menuju petugas kasir, yang lokasinya berhadapan dengan tempat pengambilan obat. Mereka menyerahkan kertas. Ntah, kertas apa itu.
"Nak, gimana? Ketemu?," kata kakek itu.
"Ini ya Kek, atas nama Sutarjo. Betul ya? Kertasnya warna kuning. Ini masih distaples jadi satu dengan resep obat," kuberikan kertas itu.
Kakek itu pun bergegas hendak meletakkan resep obat di keranjang yang berisi tumpukan resep obat peserta lainnya. Tapi, aku tak kuasa melihat kakek itu, ku ambil kertas itu dan ku bantu meletakkan resep obat tersebut
"Terima kasih ya nak. Begini kalau hidup sendiri," katanya.
"Iya kek, sama-sama. Nanti kakek tinggal menunggu panggilan ya," pintaku.
"Nduk ini sejak tadi nunggu antrian apa?, " jelasnya yang mungkin merasa aneh karena aku pun sudah tampak lebih lama darinya duduk di kursi antrian.
"Saya sedang mengantar adik saya kek, tadi ke dokter THT. Tadi antri masik ke dokter, sekarang antri obat. Sekarang dia sudah ku pinta pulang dulu, karena kepalanya pusing. Sementara saya masih menunggu antrian obat," jelasku.
Kakek berjaket jins seperti Koes Plus pun nimbrung dengan percakapan kami. Ia mencondongkan sedikit badannya ke arah kami. Tak berkata, hanya menyimak.
"Kalau kakek sendirian nduk. Tadi naik becak kesini. Kakek sungkan mau minta tolong, jadi kakek berangkat sendiri," jelasnya.
Aku hanya mengangguk. Tak tahu harus menjawab apa. Karena jika ku tanya, aku khawatir justru terlalu masuk ke dalam kisah pribadinya.
"Kakek hidup sendiri, setelah istri kakek meninggal. Makanya sekarang apa-apa kakek lakukan sendiri," katanya.
"Wah, kakek hebat ya. Masih kuat sekali, melakukan semuanya sendiri," ucapku. Dengan harapan ucapan itu bisa memberinya semangat.
Kakek Sutarjo membuka maskernya, dan tampak ia tertawa. Beberapa giginya yang tanggal karena dimakan usia pun jelas terlihat.
"Kakek ini usianya sudah 63 tahun nduk. Tapi kakek olahraga terus, setiap pagi jalan kaki, kadang lari. Ini tetiba pagi tadi kaki kakek sakit. Makanya kakek pakai tongkat tiga kaki," katanya.
"Apa kakek ada riwayat asam urat?," tanyaku penasaran.
"Iya nduk. Ini pasti karena kakek kemarin makan tumis kacang panjang. Banyak kemarin kakek makannya. Bangun-bangun kaki kakek sakit. Ini periksa, dikasih obat," jelasnya.
Sudah 1,5 jam aku menunggu antrian obat. Jika dihitung dengan antrian saat menunggu dokter, maka genap dua jam sudah aku duduk.
Duduk di antara lalu lalang keluarga pasien, maupun pasien yang sedang antri untuk periksa ke dokter THT, dokter kandungan, dokter spesialis penyakit dalam, dokter spesialis mata. Termasuk, yang sedang antri obat, antri ke kasir.
Sejak tadi, aku mendengar sayup-sayup suara orang-orang. Sesekali ku dengar rintihan karena menahan pusing kepala.
Bercampur pula dengan suara orang yang bertanya sudah antrian ke berapa. Terdengar juga, suara seorang petugas yang menjelaskan persyaratan pendaftaran rawap inap pada seorang nenek tua, yang sepertinya suaminya adalah korban kecelakaan.
"Di sini semua terdengar. Suara kesedihan, rintihan sakit, kebingungan, marah, keluhan badan lelah. Ya, namanya rumah sakit ya nduk," kata Kakek Sutarjo yang mengaburkan lamunanku saat melihat sekeliling yang begitu ramai mengantri.
Aku hanya tersenyum.
"Ada yang datang sendiri meski terbata-bata. Ada yang datang bersama keluarga. Ada yang sedang memeluk anaknya karena tak tahan menahan sakit," lanjut Kakek Sutarjo.
"Iya kek,
"Rumah sakit ini seperti rumah mata hati. Karena di tempat ini kita bisa tahu tentang keluarga, sahabat, kerabat. Bisa paham bahwa kita tak bisa hidup sendiri. Beruntung sekali mereka yang dipeluk erat oleh anaknya, diperut erat oleh kerabatnya," kata Kakek Sutarjo.
Aku melihat matanya berkaca-kaca. Ia menundukkan kepala, seolah ingin menutup kesedihannya kepadaku.
"Yang sabar ya kakek. Mudah-mudan kakek sehat selalu, jadi tak perlu datang kesini. Kakek jaga makanan ya, agar tak perlu datang kesini lagi," hiburku.
"Benar nduk. Nduk juga ya, mumpung masih muda. Jangan terlena main-main, harus disiapkan dari sekarang. Nanti banyak-banyaklah anak, belum menikah kan ya?," tanyanya padaku.
"Belum kek.. Kakek sepertinya nama adikku audsah disebut. Aku permisi dulu ya kek, terima kasih kakek," kataku sembari ku berlalu menuju tempat pengambilan obat.
Bondowoso, 18 Agustus 2021
Ocha Ari Pangistu
SENJA TAK BOLEH MUNCUL SEHARIAN Aku terbangun dari lelap tidur. Tak seperti biasanya. Aku sudah duduk bersandar di tembok. Melihat jam ...
-
SUPARMAN LUPA Lelaki paruh baya yang suka merokok itu namanya Suparman. Ia selalu mengenakan sarung berwarna coklat kotak-ko...
-
Teman Suara pekik kuda dan hentakkan keempat kakinya begitu keras terdengar. Gedebuk … Gedebuk.. Kuda putih berlari kencang. Ya, kud...
-
SENJA TAK BOLEH MUNCUL SEHARIAN Aku terbangun dari lelap tidur. Tak seperti biasanya. Aku sudah duduk bersandar di tembok. Melihat jam ...