Jumat, 01 Oktober 2021

 

 

      MASAKAN MAMA

 

Suara kokok ayam mulai terdengar. Bersamaan dengan sayup-sayup suara perpaduan wajan dan sutil bertalu-talu. Seperti bersaut-sautan, memekak gendang telinga di pagi hari.

Belum lagi, suara letupan ikan lele yang tengah digoreng pun terdengar, seperti suara mercon kecil.

Semuanya seolah menjadi musik sumbang di pagi hari. Bercampur,  tak peduli bagaimana pendapat pendengarnya.

Iya. Berbeda. Ini bukan konser musik Yanni, seorang  komponis yang sekaligus pemusik berkebangsaan Yunani.

Ini suara orang memasak. Semuanya nyaring sekali. Karena alat-alat dapur yang digunakan beradu, berpekuk, dan tak berirama padu.

Sepertinya dua wajan, dan dua kompor hidup semua. Makanan yang tengah dimasak, sedang mengejar terbitnya matahari.

Suasana pagi memang selalu seperti itu. Ramai, layaknya ribuan benda mati yang dikenal dengan sebutan peralatan masak, tengah berbincang.

Aroma yang tercium juga tak mau kalah. Bawang putih, bawang merah, cabe merah kecil, terasi, ranti, gula, garam, bumbu penyedap. Masakan paling favorit, pedas manis. Sambal bajak.

Memang selalu dipilih dimasak di bagian akhir. Aku pernah bertanya serius tentang ini pada mama, nenek, dan mbah buyutku. Semuanya memberikan  jawaban yang sama. Memang sengaja memasak sambal di bagian akhir, karena ada bahan yang masuk dalam komposisi dan memiliki aroma yang kuat.

Jadinya, untuk menggoreng bahan tersebut haruslah menggunakan minyak terakhir. Agar kemudian aromanya tak melekat pada masakan lain yang akan digoreng. Iya, terasi.

 Alasan lain, karena cabe yang digunakan untuk sambal ini mempunyai rasa pedas. Sementara, tak semua orang suka pedas. Agar tak memudarkan rasa-rasa lainnya, maka  pedas yang selalu mendominasi rasa, dipilih dimasak di bagian akhir.

Tak kusangka, urusan memasak saja sedemikian peliknya.

Aroma sambal bajak memang menyengat saat dimasak. Membuat mereka yang mencium aromanya turut bersin berkali-kali.

Seperti yang terjadi tiap kali Mama saya memasak sambal bajak. Antara kesal dan senang beradu nikmat.

Saking nikmatnya, jadwal memasak sambal bajak yang dulunya teratur. Sekarang tak beraturan, bergantung jumlah anggota keluarga yang makan. Jika bapak makan di tempat kerja. Bisa jadi, jumlah sambal bajaknya bisa cukup untuk tiga hari.

Berbeda lagi jika itu hari Minggu. Sambal bajak  satu baskom pun bisa habis hanya dalam hitungan setengah hari.

Suasana ini tak ditemui jika berkaitan dengan lauk pauk yang dimasak. Setiap hari, ada saja aduan-aduan dari anggota keluarga di rumah.  Jika memasak makanan manis, sudah pasti anak pertama akan merangrang. Ia tak suka manis.

Berbeda lagi, dengan anak ke dua. Jika, tak ada sayur mayur di tengah-tengah 1001 lauk. Jangan pernah berharap, di meja makan akan damai. Justru akan terisi, teriakan, makian kesal, hingga paling parah umpatan kasar.

Si bungsu, akan diam seribu bahasa, bahkan tak akan menyentuh nasi. Jika tak ada mie goreng, telur goreng. Atau jika keluarga memasak hati ayam atau hati sapi.

"Najis, makan makanan pahit ini," kalimat hafalan yang selalu kita dengar.

Tak kubayangkan, jika makanan untuk orang satu RT saja, mamaku yang memasak. Bagaimana, suara-suara pro dan kontra itu beradu setiap kali mau makan. Mungkin, bisa menyaingi polusi suara orang yang sedang menggergaji pohon.

Kemarin pagi, aku bangun sekitar pukul 11 siang. Sinar matahari, menyelinap di lubang-lubang kecil anyaman bambu rumahku.

Aku tak bangun pagi lagi, karena tak ada suara alat memasak yang lagi beradu. Tak ada aroma sambal bajak lagi yang dimasak atau sekedar dihangatkan yang membuat bersin-bersin.

Mama sedang menemani saudara kami di rumah sakit. Korban tabrak lari.

Meja makan yang biasanya ketika bangun sudah berisi beragam lauk. Kini kosong, hanya terlihat semut-semut merah lima ekor. Sedang kesana kemarin mencari sisa-sisa lauk. Padahal, tak ada sebutir nasi pun di meja.

Botol-botol kosong yang tersibak angin, menggelinding. Mengenai semut. Ntah, jika bisa berbicara mungkin semut itu akan menjerit kesakitan.

Botol-botol air berjejer rapi. Tak ada air, kosong. Semalam sudah habis diteguk. Sebagian lagi dibawa ke rumah sakit.

 

 Di dekat timpukan piring, biasanya ada sebutir telur dan mie goreng. Tapi, yang terlihat hanya piring dengan butiran-butiran debu halus. Sepertinya debu itu masuk dari pintu sampung rumah kami, yang dekat sekali dengan tanah pekarangan milik tetangga.

"Aku barusan sudah beli nasi di warung depan. Kakak, kalau mau makan nanti kupesankan," kata si Bungsu.

"Tak usah. Biar nanti aku beli sendiri," kataku sembari berlalu menuju kamar mandi untuk cuci muka.

"Kalau tak ada mama, aku bingung. Walaupun kadang suka kesal karena masakan mama yang kadang tak sesuai selera. Tapi lebih baik ada, dari pada tak ada sama sekali," katanya dengan raut wajah kesal.

Aku baru saja keluar dari kamar mandi, sembari mengelap wajah yang basah karena cuci muka.

"Halah, biasanya juga kau ngomel. Kalau mama hanya memasak hati ayam atau hati sapi kesukaan keluarga," kataku.

"Sudahlah, aku tak mau berdebat. Coba itu kakak lihat handphone-nya. Sejak tadi berbunyi terus," ujar adikku kesal.

Aku kemudian buru-buru melihat handphone. Dan kubuka, tertulir di layar tiga kali panggilan tak terjawab "Mamaku".

Kucoba telpon balik, ternyata tak diangkat. Namun, ada pesan yang sudah masuk sejak satu jam lalu.

" Kakakmu sudah boleh pulang. Jam 15.00 nanti," teks pesan dari kontak yang keberi tulisan "Mamaku".

 

Bondowoso,  16 September 2021

Ocha Ari Pangistu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SENJA TAK BOLEH MUNCUL SEHARIAN  Aku terbangun dari lelap tidur. Tak seperti biasanya. Aku sudah duduk bersandar di tembok. Melihat jam ...