Jumat, 13 Agustus 2021

 

Aku Butuh

 

“Baiknya jika kita hendak menjalin hubungan jangan pernah berpikir untuk mencintai. Tapi sebaiknya, jadilah orang yang dicintai. Sungguh, itu akan membuatmu jauh perkasa, gagah, dan berharga,”.

Semula aku hanya menganggukkan kepalaku setiap kali mendengar orang-orang mengatakan kalimat itu. Tanpa tau apa maknanya. Hingga saat  aku menikmati takdir yang Tuhan tulis di lembaran Lauful Mahfuds atas namaku, Maharani Dewi Setia Ningsih. Di lembaran-lembaran yang konon tak satu pun bisa mengubahnya itu, tertulis aku yang bertemu dan menjalin cinta dengan seorang lelaki berduri namun bersayap.

Seringkali, dia membawaku terbang hingga ke langit ke tujuh dengan sayapnya, dan tak jarang pula dalam perjalanan itu, durinya mengenaiku. Tapi anehnya, sekalipun duri itu mengenaiku, yang kurasakan adalah kekuatan super power yang terasa begitu hangat dan lembut. Itukah karena mungkin aku yang sejak awal menjadi seorang penanam modal. Penanam modal ceroboh yang tak pernah mengukur terlebih dahulu, berapa yang harus dikeluarkan untuk bisa memperoleh laba sebanyak-banyaknya. Atau setidaknya tau lebih dulu, kepada siapa dan dimana hendak berinvestasi. Agar di kemudian hari tak lantas akan sering berulang kali bertanya, “Adilkah ini ?”

Meski demikian, Aku tak berani mengatakan semua itu sebagai kebodohan. Aku lebih senang menyebut itu adalah kebutuhanku. Ntah bagaimana aku menolaknya, tapi sungguh benar, sekali pun tampak seperti menganiaya diri, tetap dengan lantang aku katakan, “That is what I need”.

Aku berani menyebut itu sebagai apa yang aku butuhkan, karena Ibundaku pernah berkata padaku “Tak pernah ada seorang pelaut yang handal hanya dilahirkan dari ombak yang biasa saja.”

Dialogku tak pernah terhenti hanya dengan berisi satu nasihat jika berbincang dengan Ibundaku. Dia adalah wanita yang selalu sok berani, sok kuat, dan sok-sok yang lain. Padahal aku tahu benar, Dia adalah manusia pertama di muka bumi yang mengeluarkan air mata dan menjadi rapuh seketika, manakala aku terluka.

“Wanita tak pernah sekuat itu saat telah berbentur dengan cinta,” kataku pada Ibunda.

“Tapi ingatlah pada Tan Malaka, : Terbentur, Terbentur, Terbentur, Terbentuk,”  sahut Ibunda.

“ Aku tak ingin terbentuk karena benturan, benturan, benturan cinta. Itu terlalu naif,” kataku sembari mengusap air mata yang tak henti menetes di pipiku.

Dia tak menyaut. Sesaat hanya pergi berlalu. Kemudian kembali dengan membawa sebuah handphone yang kemudian dia putarkan lagu, dari Sandy Canester berjudul “Cemburu”. Namun anehnya, dia hanya mengulang-ngulang lagu itu dibagian ini :

Ku cemburu - bila kau dengannya - Ku cemburu - kar’na kau adalah sebagian - dari hatiku”

“Aku tak paham,” lirihku di hati. Sementara, saatku bertanya ibuku hanya menjawab,

“Kau butuh ini. Dia pun butuh ini. Perpisahan kalian karena kecemburuan yang teramat besar. Karena kecemburaan yang ketika langit dijunjung sekalipun tak akan mampu kau membayarnya. Kecuali kau membayar itu dengan kembali.”

Hening . . .

Aku berusaha memahami pesan yang diakhiri dengan keheningan itu berbulan-bulan. Tak kutemui jawabnnya. Hingga, saat seorang teman datang padaku dengan pelukan dan air mata. Barulah, ku paham apa kata ibuku.

Aku pun tak lantas sok kuat, seperti ia, bundaku yang selalu mengatakan kenyang saat dirinya sebenarnya sedang lapar demi diriku.

Aku setuju. Iya, pada akhirnya. Bukan saat itu pula. Bukan saat, seorang, dua orang, tiga orang. Bukan saat sehari, dua hari, atau sebulan, dua bulan. Melainkan tiga hingga empat tahun. Setelah kulewati hati-hati yang hanya menjadi pemanis saja.

Kini, ya kuakui sebagai manusia – Aku takut dengan rasa sakit, tapi aku membutuhkan rasa sakit -.

Tak semua wanita lantas memiliki pemikiran yang sama denganku. Ada sebagian yang justru menyebut bahwa mata haruslah dibayar dengan mata. Mungkin bisa jadi mayoritas wanita yang aku kenal, dan berada di sekitarku pun memiliki pemikiran demikian. Semacam paham tapi tak mau mengerti.

Namun kembali lagi, kami para wanita terlahir dari rahim berbeda, tumbuh di lingkungan yang berbeda, dan diasuh oleh tangan yang juga berbeda. Makanya walaupun berada di jalur yang sama belum tentu bisa menjadi serupa.

Aku pernah ditanya, kenapa kemudian rasa sakit itu kau sebut sebagai kebutuhanmu. Bukankah kita semua tahu, andai setiap manusia di muka bumi ini bisa memilih, pastilah tak satu pun akan memilih kesulitan, rasa sakit, dan penderitaan. Semuanya akan memilih senang.

Sederhana saja yang aku pikirkan, bahwa untuk menjadi api, aku butuh korek, kayu bakar, dan minyak tanah. Untuk menjadi kuah sop, aku butuh kentang, wortel, gubis, bumbu-bumbu, dan lainnya. Dan untuk memperbaiki kain sobek sekali pun, aku butuh benang dan jarum.

Rasa sakit dari mana pun datangnya, menurutku, adalah kebutuhanku. Yang di kemudian hari barulah aku sadari akan ada kata “Untungnya” untuk aku menjalani hidup yang tak tahu kapan akan berhenti berdetak untuuku. Karenanya, setiap satu kesulitan aku lalui, aku akan membuka instagramku, dan akan membaca sebuah puisi yang aku tulis sebagai caption untuk melengkapi photo manis di sebuah Pemandangan.

 

Kalau Aku lari ke pantai

Maka (katanya) akan bisa bertemu dengan kisah romantisme kebodohan

Tapi,

Kalau Aku lari ke hutan

Maka (katanya) akan bisa bertemu dengan liarnya kebutaan pikiran

Jika aku lari pada keduanya

Tak ada yang bisa menjelaskan

Jika kau tak lari pada keduanya

Maka (katanya) hanya ada penyesalan

Benarkah ?

Aku pun terkatup

Menunggu senja di ujung jalan

Sembari memikirkan pilihan lain

Kecuali kenyataan bahwa sembabku (katanya) juga pilihan

Padahal aku punya pikiran sendiri

Aku lambaikan tangan

Senyum kepuasaan

Sembari berkata kecil dalam hati

“Aku tau Kau rindu”

 

Bondowoso, 13 Agustus 2021

Ocha Ari Pangistu

 

 

 

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SENJA TAK BOLEH MUNCUL SEHARIAN  Aku terbangun dari lelap tidur. Tak seperti biasanya. Aku sudah duduk bersandar di tembok. Melihat jam ...