Jumat, 01 Oktober 2021

 

SUPARMAN LUPA

 

Lelaki paruh baya yang suka merokok itu namanya Suparman.

 

Ia selalu mengenakan sarung berwarna coklat kotak-kotak dengan atasan singlet putih.

 

Suparman hanya akan mengenakan setelan lain manakala akan pergi menuju Bank untuk mengambil gaji pensiunan gurunya. Atau, jika hendak beribadah.

 

Pernah ditanya oleh masyarakat, kenapa hanya mengenakan pakaian-pakaian itu saja. Dan Suparman hanya selalu membalas dengan sederhana.

 

"Singletku ini ada dua. Sarungku juga ada dua. Masih layak dipakai. Aku jamin tak bau, karena aku berselang seling pakainya. Paling penting itu kenyamanan," katanya.

 

Semua warga hafal sekali dengan jawaban ini. Dan berapa kalipun kami memberi baju kepadanya, selalu saja dia tetap hanya mengenakan pakaian kebangsaannya.

 

Suatu pagi, ia duduk di atas kursi merah plastik di depan rumahnya. Sembari menghisap sebatang rokok linting.

 

Tepat di sebelah kirinya ada meja kayu kecil berukuran 0,5x0,5 meter. Di atasnya berserakan perlengkapan merokoknya. Ada korek, kertas rokok, tembakau kering, asbak, dan segelas kopi.

 

Rumahnya yang sederhana selalu terlihat bersih. Tak pernah tetangga melihat ada plastik berceceran di depan rumahnya.

 

Tak kecuali ruang tamu, dua kamar tidur, dapur, tempat makan, dan seluruh isi rumahnya. Bersih. Sudah seperti rumah yang selalu digunakan untuk iklan Superpel. Kinclong.

 

Halaman depan rumahnya tak begitu luas. Karena memang sebagiannya ia buatkan teras. Tempat, ia duduk santai menikmati lintingan rokoknya.

 

Sederet bunga pedang-pedangan berjejer rapi di depan rumahnya. Bunga itu ditatanya memanjang, dikelilingi oleh genteng yang dipendam ke tanah.

 

Kemudian di sebelah kanan, ada beberapa pot yang ditanami bunga mawar, bunga seruni.

 

Di atasnya, telah ia buatkan gantungan untuk bunga-bunga yang mbak seperti air terjun. Seperti, bunga air mata ibu,  bunga

 

Di dekat pintu masuk menuju halaman rumahnya, ia tanami pohon jambu dan pohon pepaya.

 

Seringkali, anak-anak yang ingin rujak jambu pun meminta pada Suparman.

 

Semua bunga itu peliharaan istrinya. Namun, sejak meninggal dua tahun lalu, karena sakit jantung. Suparman lah yang melanjutkan merawat semua itu.

 

Ia hidup seorang diri. Sementara anak semata wayangnya yang sudah menjadi Polisi, kini tinggal di kota bersama istri dan dua anaknya.

 

Anaknya selalu memaksa agar Suparman mau ikut ke kota tinggal bersama. Tapi, ia tak mau.

 

Setiap hari anaknya, menantunya, bahkan ke dua cucunya menelpon Suparman.

 

Selain itu, putranya itu selalu datang setiap akhir pekan di minggu pertama. Bahkan, menginap hingga dua - tiga hari. Bukan hanya menengok ayahnya, tapi ia juga memastikan semua kebutuhan ayahnya selama sebulan.

 

Beras, gula, kopi, mie instan, token listrik. Termasuk, meminta penjual sayur menghantarkan lauk tiap hari ke rumah ayahnya.

 

Suparman meminta agar tak perlu melakukan itu. Karena, ia bisa memasak sendiri. Namun, menantunya tak mau. Menantunya yang berkelahiran tanah Madura itu, khawatir.

 

Tak mau berdebat panjang, Suparman mengikuti semua keinginan menantu dan anaknya. Ia tahu mereka khawatir padanya.

 

Sebenarnya, Anaknya yang Polisi itu pernah mendorong ayahnya menikah lagi. Agar tak kesepian. Namun, Suparman marah besar ketika anaknya meminta itu.

 

"Ibumu memang tak ada di dunia. Tapi, ia selalu di hati ayah," katanya.

 

Anak dan menantunya mengakhiri perbincangan itu dengan diam. Dan tak pernah sekalipun melontarkan dorongan serupa pada ayahnya.

 

Pagi itu, matahari bersinar terang. Suparman seperti biasa duduk santai, setelah menyiram tanaman. Menikmati rokok lintingnya.

 

Selamet, sepupunya datang membawakan secangkir kopi. Lengkap pula pisang goreng hangat.

 

"Pak Lek selalu saja duduk sendiri begini. Tak kesepian? Tak mau ikut abang saja ke kota?," katanya.

 

" Pak  Lek tak pernah kesepian. Ada kamu, dan ibumu, anak, serta istrimu yang selalu di samping Pak Lek," jawab Suparman dengan senyuman.

 

"Pak Lek, kenapa selama ini tak pernah mau tinggal dengan Abang di Kota sudah sukses. Sudah jadi Kapolsek. Kakak Ipar juga sangat hormat pada Pak Lek,"  tanya Selamet.

 

Tetiba Suparman melempar punyung rokoknya, dan beranjak dari kursi. Selamet yang melihat itu pun merasa tak enak.

 

Ia bergegas pamit, tapi tiba-tiba Suparman mengatakan.

 

"Tunggu, kau mau kemana? Aku masih ingin mengobrol," ucapnya.

 

Selamet merasa aneh. Karena tak biasa Suparman begitu saat ditanya pertanyaan seperti tadi. Merasa tak enak, ia pun mengurungkan niat untuk pergi, dan duduk dengan seksama di atas kursi sembari menunggu Kakak dari ibunya itu keluar dari rumah.

 

Suparman dari dalam rumah membawa lepek berisi minyak, dan di atasnya tampak sebuah logam kecil bertuliskan BANK INDONESIA 500 RUPIAH 2016. Iya, logam yang tampak dipinggirannya telah pekat berwarna hitam. Mungkin bekas daki saat mengerok.

 

Ia yakin Suparman pasti ingin dikerok.

 

"Pak Lek minta tolong ya met, kerokin. Ini kemarin selesai mengajar ngaji malam di Langgar, tak lihat jam. Hingga pulang malam," jelasnya.

 

Selamet tak pernah menolak apapun yang diminta Suparman. Karena bagi Selamet, pamannya itu seperti ayah kandungnya.

 

"Selamet kamu selama ini selalu saja bertanya pertanyaan sama seperti tadi. Apakah kau tahu nak, kami orang tua ini kadang lupa," jelas Suparman.

 

Ia berhenti sejenak, menyeruput kopi hangat. Selamet terus mengerok punggung pamannya.

 

"Lupa kalau kami sudah tua. Lupa kalau kini kami hanya bisa mengangkut satu karung saja. Lupa kalau mata kami sudah tak bisa melihat jelas saat berkendara malam hari," katanya.

 

Selamet tak menjawab sepatah kata pun. Ia terus mengerok pamannya itu.

 

BONDOWOSO, 1 Oktober 2021

Ocha Ari Pangistu

 

 

      MASAKAN MAMA

 

Suara kokok ayam mulai terdengar. Bersamaan dengan sayup-sayup suara perpaduan wajan dan sutil bertalu-talu. Seperti bersaut-sautan, memekak gendang telinga di pagi hari.

Belum lagi, suara letupan ikan lele yang tengah digoreng pun terdengar, seperti suara mercon kecil.

Semuanya seolah menjadi musik sumbang di pagi hari. Bercampur,  tak peduli bagaimana pendapat pendengarnya.

Iya. Berbeda. Ini bukan konser musik Yanni, seorang  komponis yang sekaligus pemusik berkebangsaan Yunani.

Ini suara orang memasak. Semuanya nyaring sekali. Karena alat-alat dapur yang digunakan beradu, berpekuk, dan tak berirama padu.

Sepertinya dua wajan, dan dua kompor hidup semua. Makanan yang tengah dimasak, sedang mengejar terbitnya matahari.

Suasana pagi memang selalu seperti itu. Ramai, layaknya ribuan benda mati yang dikenal dengan sebutan peralatan masak, tengah berbincang.

Aroma yang tercium juga tak mau kalah. Bawang putih, bawang merah, cabe merah kecil, terasi, ranti, gula, garam, bumbu penyedap. Masakan paling favorit, pedas manis. Sambal bajak.

Memang selalu dipilih dimasak di bagian akhir. Aku pernah bertanya serius tentang ini pada mama, nenek, dan mbah buyutku. Semuanya memberikan  jawaban yang sama. Memang sengaja memasak sambal di bagian akhir, karena ada bahan yang masuk dalam komposisi dan memiliki aroma yang kuat.

Jadinya, untuk menggoreng bahan tersebut haruslah menggunakan minyak terakhir. Agar kemudian aromanya tak melekat pada masakan lain yang akan digoreng. Iya, terasi.

 Alasan lain, karena cabe yang digunakan untuk sambal ini mempunyai rasa pedas. Sementara, tak semua orang suka pedas. Agar tak memudarkan rasa-rasa lainnya, maka  pedas yang selalu mendominasi rasa, dipilih dimasak di bagian akhir.

Tak kusangka, urusan memasak saja sedemikian peliknya.

Aroma sambal bajak memang menyengat saat dimasak. Membuat mereka yang mencium aromanya turut bersin berkali-kali.

Seperti yang terjadi tiap kali Mama saya memasak sambal bajak. Antara kesal dan senang beradu nikmat.

Saking nikmatnya, jadwal memasak sambal bajak yang dulunya teratur. Sekarang tak beraturan, bergantung jumlah anggota keluarga yang makan. Jika bapak makan di tempat kerja. Bisa jadi, jumlah sambal bajaknya bisa cukup untuk tiga hari.

Berbeda lagi jika itu hari Minggu. Sambal bajak  satu baskom pun bisa habis hanya dalam hitungan setengah hari.

Suasana ini tak ditemui jika berkaitan dengan lauk pauk yang dimasak. Setiap hari, ada saja aduan-aduan dari anggota keluarga di rumah.  Jika memasak makanan manis, sudah pasti anak pertama akan merangrang. Ia tak suka manis.

Berbeda lagi, dengan anak ke dua. Jika, tak ada sayur mayur di tengah-tengah 1001 lauk. Jangan pernah berharap, di meja makan akan damai. Justru akan terisi, teriakan, makian kesal, hingga paling parah umpatan kasar.

Si bungsu, akan diam seribu bahasa, bahkan tak akan menyentuh nasi. Jika tak ada mie goreng, telur goreng. Atau jika keluarga memasak hati ayam atau hati sapi.

"Najis, makan makanan pahit ini," kalimat hafalan yang selalu kita dengar.

Tak kubayangkan, jika makanan untuk orang satu RT saja, mamaku yang memasak. Bagaimana, suara-suara pro dan kontra itu beradu setiap kali mau makan. Mungkin, bisa menyaingi polusi suara orang yang sedang menggergaji pohon.

Kemarin pagi, aku bangun sekitar pukul 11 siang. Sinar matahari, menyelinap di lubang-lubang kecil anyaman bambu rumahku.

Aku tak bangun pagi lagi, karena tak ada suara alat memasak yang lagi beradu. Tak ada aroma sambal bajak lagi yang dimasak atau sekedar dihangatkan yang membuat bersin-bersin.

Mama sedang menemani saudara kami di rumah sakit. Korban tabrak lari.

Meja makan yang biasanya ketika bangun sudah berisi beragam lauk. Kini kosong, hanya terlihat semut-semut merah lima ekor. Sedang kesana kemarin mencari sisa-sisa lauk. Padahal, tak ada sebutir nasi pun di meja.

Botol-botol kosong yang tersibak angin, menggelinding. Mengenai semut. Ntah, jika bisa berbicara mungkin semut itu akan menjerit kesakitan.

Botol-botol air berjejer rapi. Tak ada air, kosong. Semalam sudah habis diteguk. Sebagian lagi dibawa ke rumah sakit.

 

 Di dekat timpukan piring, biasanya ada sebutir telur dan mie goreng. Tapi, yang terlihat hanya piring dengan butiran-butiran debu halus. Sepertinya debu itu masuk dari pintu sampung rumah kami, yang dekat sekali dengan tanah pekarangan milik tetangga.

"Aku barusan sudah beli nasi di warung depan. Kakak, kalau mau makan nanti kupesankan," kata si Bungsu.

"Tak usah. Biar nanti aku beli sendiri," kataku sembari berlalu menuju kamar mandi untuk cuci muka.

"Kalau tak ada mama, aku bingung. Walaupun kadang suka kesal karena masakan mama yang kadang tak sesuai selera. Tapi lebih baik ada, dari pada tak ada sama sekali," katanya dengan raut wajah kesal.

Aku baru saja keluar dari kamar mandi, sembari mengelap wajah yang basah karena cuci muka.

"Halah, biasanya juga kau ngomel. Kalau mama hanya memasak hati ayam atau hati sapi kesukaan keluarga," kataku.

"Sudahlah, aku tak mau berdebat. Coba itu kakak lihat handphone-nya. Sejak tadi berbunyi terus," ujar adikku kesal.

Aku kemudian buru-buru melihat handphone. Dan kubuka, tertulir di layar tiga kali panggilan tak terjawab "Mamaku".

Kucoba telpon balik, ternyata tak diangkat. Namun, ada pesan yang sudah masuk sejak satu jam lalu.

" Kakakmu sudah boleh pulang. Jam 15.00 nanti," teks pesan dari kontak yang keberi tulisan "Mamaku".

 

Bondowoso,  16 September 2021

Ocha Ari Pangistu

SENJA TAK BOLEH MUNCUL SEHARIAN  Aku terbangun dari lelap tidur. Tak seperti biasanya. Aku sudah duduk bersandar di tembok. Melihat jam ...