SUPARMAN LUPA
Lelaki paruh baya yang suka merokok itu namanya Suparman.
Ia selalu mengenakan sarung berwarna coklat kotak-kotak dengan atasan singlet putih.
Suparman hanya akan mengenakan setelan lain manakala akan pergi menuju Bank untuk mengambil gaji pensiunan gurunya. Atau, jika hendak beribadah.
Pernah ditanya oleh masyarakat, kenapa hanya mengenakan pakaian-pakaian itu saja. Dan Suparman hanya selalu membalas dengan sederhana.
"Singletku ini ada dua. Sarungku juga ada dua. Masih layak dipakai. Aku jamin tak bau, karena aku berselang seling pakainya. Paling penting itu kenyamanan," katanya.
Semua warga hafal sekali dengan jawaban ini. Dan berapa kalipun kami memberi baju kepadanya, selalu saja dia tetap hanya mengenakan pakaian kebangsaannya.
Suatu pagi, ia duduk di atas kursi merah plastik di depan rumahnya. Sembari menghisap sebatang rokok linting.
Tepat di sebelah kirinya ada meja kayu kecil berukuran 0,5x0,5 meter. Di atasnya berserakan perlengkapan merokoknya. Ada korek, kertas rokok, tembakau kering, asbak, dan segelas kopi.
Rumahnya yang sederhana selalu terlihat bersih. Tak pernah tetangga melihat ada plastik berceceran di depan rumahnya.
Tak kecuali ruang tamu, dua kamar tidur, dapur, tempat makan, dan seluruh isi rumahnya. Bersih. Sudah seperti rumah yang selalu digunakan untuk iklan Superpel. Kinclong.
Halaman depan rumahnya tak begitu luas. Karena memang sebagiannya ia buatkan teras. Tempat, ia duduk santai menikmati lintingan rokoknya.
Sederet bunga pedang-pedangan berjejer rapi di depan rumahnya. Bunga itu ditatanya memanjang, dikelilingi oleh genteng yang dipendam ke tanah.
Kemudian di sebelah kanan, ada beberapa pot yang ditanami bunga mawar, bunga seruni.
Di atasnya, telah ia buatkan gantungan untuk bunga-bunga yang mbak seperti air terjun. Seperti, bunga air mata ibu, bunga
Di dekat pintu masuk menuju halaman rumahnya, ia tanami pohon jambu dan pohon pepaya.
Seringkali, anak-anak yang ingin rujak jambu pun meminta pada Suparman.
Semua bunga itu peliharaan istrinya. Namun, sejak meninggal dua tahun lalu, karena sakit jantung. Suparman lah yang melanjutkan merawat semua itu.
Ia hidup seorang diri. Sementara anak semata wayangnya yang sudah menjadi Polisi, kini tinggal di kota bersama istri dan dua anaknya.
Anaknya selalu memaksa agar Suparman mau ikut ke kota tinggal bersama. Tapi, ia tak mau.
Setiap hari anaknya, menantunya, bahkan ke dua cucunya menelpon Suparman.
Selain itu, putranya itu selalu datang setiap akhir pekan di minggu pertama. Bahkan, menginap hingga dua - tiga hari. Bukan hanya menengok ayahnya, tapi ia juga memastikan semua kebutuhan ayahnya selama sebulan.
Beras, gula, kopi, mie instan, token listrik. Termasuk, meminta penjual sayur menghantarkan lauk tiap hari ke rumah ayahnya.
Suparman meminta agar tak perlu melakukan itu. Karena, ia bisa memasak sendiri. Namun, menantunya tak mau. Menantunya yang berkelahiran tanah Madura itu, khawatir.
Tak mau berdebat panjang, Suparman mengikuti semua keinginan menantu dan anaknya. Ia tahu mereka khawatir padanya.
Sebenarnya, Anaknya yang Polisi itu pernah mendorong ayahnya menikah lagi. Agar tak kesepian. Namun, Suparman marah besar ketika anaknya meminta itu.
"Ibumu memang tak ada di dunia. Tapi, ia selalu di hati ayah," katanya.
Anak dan menantunya mengakhiri perbincangan itu dengan diam. Dan tak pernah sekalipun melontarkan dorongan serupa pada ayahnya.
Pagi itu, matahari bersinar terang. Suparman seperti biasa duduk santai, setelah menyiram tanaman. Menikmati rokok lintingnya.
Selamet, sepupunya datang membawakan secangkir kopi. Lengkap pula pisang goreng hangat.
"Pak Lek selalu saja duduk sendiri begini. Tak kesepian? Tak mau ikut abang saja ke kota?," katanya.
" Pak Lek tak pernah kesepian. Ada kamu, dan ibumu, anak, serta istrimu yang selalu di samping Pak Lek," jawab Suparman dengan senyuman.
"Pak Lek, kenapa selama ini tak pernah mau tinggal dengan Abang di Kota sudah sukses. Sudah jadi Kapolsek. Kakak Ipar juga sangat hormat pada Pak Lek," tanya Selamet.
Tetiba Suparman melempar punyung rokoknya, dan beranjak dari kursi. Selamet yang melihat itu pun merasa tak enak.
Ia bergegas pamit, tapi tiba-tiba Suparman mengatakan.
"Tunggu, kau mau kemana? Aku masih ingin mengobrol," ucapnya.
Selamet merasa aneh. Karena tak biasa Suparman begitu saat ditanya pertanyaan seperti tadi. Merasa tak enak, ia pun mengurungkan niat untuk pergi, dan duduk dengan seksama di atas kursi sembari menunggu Kakak dari ibunya itu keluar dari rumah.
Suparman dari dalam rumah membawa lepek berisi minyak, dan di atasnya tampak sebuah logam kecil bertuliskan BANK INDONESIA 500 RUPIAH 2016. Iya, logam yang tampak dipinggirannya telah pekat berwarna hitam. Mungkin bekas daki saat mengerok.
Ia yakin Suparman pasti ingin dikerok.
"Pak Lek minta tolong ya met, kerokin. Ini kemarin selesai mengajar ngaji malam di Langgar, tak lihat jam. Hingga pulang malam," jelasnya.
Selamet tak pernah menolak apapun yang diminta Suparman. Karena bagi Selamet, pamannya itu seperti ayah kandungnya.
"Selamet kamu selama ini selalu saja bertanya pertanyaan sama seperti tadi. Apakah kau tahu nak, kami orang tua ini kadang lupa," jelas Suparman.
Ia berhenti sejenak, menyeruput kopi hangat. Selamet terus mengerok punggung pamannya.
"Lupa kalau kami sudah tua. Lupa kalau kini kami hanya bisa mengangkut satu karung saja. Lupa kalau mata kami sudah tak bisa melihat jelas saat berkendara malam hari," katanya.
Selamet tak menjawab sepatah kata pun. Ia terus mengerok pamannya itu.
BONDOWOSO, 1 Oktober 2021
Ocha Ari Pangistu